Sabtu, Desember 18, 2010

Jahannam Setelah 300 Km

oleh Abu Khalid Al Jadawi

Aku mengenal seorang pemuda yang dulu termasuk orang-orang yang lalai dari mengingat Allah ‘azza wa jalla. Dulu dia bersama dengan teman-teman yang buruk sepanjang masa mudanya. Pemuda itu meriwayatkan kisahnya sendiri:
“Demi Allah, yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, aku dulu bersama dengan teman-temanku, dan tidak ada suatu niat dalam diriku untuk melakukan ketaatanpun untuk Allah ‘azza wa jalla, apakah untuk shalat atau yang lain”.
Alkisah kami sekelompok pemuda pergi menuju kota Dammam, ketika kami melewati papan penunjuk jalan, maka teman-teman membacanya: “Dammam, 300 km”.
Maka aku katakan kepada mereka bahwa aku melihat papan itu bertuliskan “Jahannam, 300 km”. Merekapun duduk dan menertawakan ucapanku. Aku bersumpah kepada mereka atas hal itu, akan tetapi mereka tidak percaya. Maka merekapun membiarkan dan mendustakanku.
Berlalulah waktu tersebut dalam canda tawa, sementara aku menjadi bingung dengan papan yang telah kubaca tadi.
Selang beberapa waktu, kami mendapatkan penunjuk jalan lain, mereka berkata: “Damman, 200 km”. Kukatakan: “Jahannam, 200 km”. Merekapun menertawakan aku dan menyebutku gila. Kukatakan: “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang haq selain Dia, sesungguhnya aku melihatnya bertuliskan Jahannam, 200 km”. Merekapun menertawakanku seperti kali pertama. Dan mereka berkata; “Diamlah, kamu membuat kami takut”. Akupun diam, dalam keadaan susah, yang diliputi rasa keheranan aku memikirkan perkara aneh ini.
Keadaanku terus-menerus bersama dengan pikiran dan keheranan, sementara keadaan mereka bersama dengan gelak tawa dan candanya, hingga kemudian kami bertemu dengan papan penunjuk jalan yang ketiga. Mereka berkata: “Tinggal sedikit lagi, Dammam, 100 km”.
Kukatakan: “Demi Allah Yang Maha Agung, aku melihatnya Jahannam, 100 km”. Mereka berkata: “Tinggalkanlah kedustaan, engkau telah menyakiti kami sejak awal perjalanan kita”. Kukatakan: “Turunkan aku, aku ingin kembali”. Mereka berkata: “Apakah engkau sudah gila?”. Kukatakan: ”Turunkan aku. Demi Allah, aku tidak akan menyelesaikan perjalanan ini bersama kalian”.



Maka merekapun menurunkanku, akupun pergi ke arah jalan yang berlawanan dari tujuanku semula. Akupun tinggal di jalan itu beberapa saat, dengan memberikan isyarat kepada mobil-mobil untuk berhenti untukku. Selang beberapa saat, berhentilah untukku seorang sopir yang sudah tua, akupun ikut bersama dalam mobilnya.
Saat itu dia dalam keadaan diam lagi sedih, dan tidak berkata-kata walaupun satu kalimat. Maka kukatakan kepadanya: “Baiklah, ada apa dengan anda, kenapa anda tidak berkata-kata?”
Maka dia menjawab: “Sesungguhnya aku sangat terkesima dengan sebuah kecelakaan yang telah kulihat beberapa saat yang lalu. Demi Allah aku belum pernah melihat yang lebih buruk darinya selama kehidupanku”.
Kukatakan kepadanya: “Apakah mereka itu satu keluarga atau selainnya?”
Dia menjawab: “Mereka adalah sekumpulan anak-anak muda, tidak ada seorangpun dari mereka yang selamat”. Maka dia memberitahukan kepadaku ciri-ciri mobilnya, maka akupun mengenalnya, bahwa mereka adalah teman-temanku tadi. Maka akupun meminta kepadanya untuk bersumpah atas apa yang telah dia katakan, maka diapun bersumpah dengan nama Allah.
Maka akupun mengetahui bahwa Allah ‘azza wa jalla telah mencabut roh teman-temanku setelah aku turun dari mobil mereka tadi. Dan Dia telah menjadikanku sebagai pelajaran bagi diriku dan yang lain. Akupun memuji Allah yang telah menyelamatkanku di antara mereka.
Syaikh Abu Khalid al-Jadawi (penulis kisah ini) berkata: “Sesungguhnya pemilik kisah ini menjadi seorang laki-laki yang baik. Padanya terdapat tanda-tanda kebaikan, setelah dia kehilangan teman-temannya dengan kisah ini, yang setelahnya dia bertaubat dengan taubat nasuha”.
Maka kukatakan: “Wahai saudaraku, apakah engkau akan menunggu kehilangan empat atau lima teman-temanmu sampai kepada perjalanan seperti perjalanan ini? Agar engkau bisa mengambil pelajaran darinya? Dan tahukah kamu, bahwa kadang bukan engkau yang bertaubat karena sebab kematian teman-temanmu melainkan engkaulah yang menjadi sebab pertaubatan teman-temanmu di atas maksiat dan kerusakan”. Na’udzu billah.

Sumber : Dikutip dengan sedikit perubahan dari Majalah Qiblati edisi 05/III, 2008

1 komentar:

  1. subhanallah., semoga kita mampu mengambil hikmah dari segla pelajran ini.,

    BalasHapus