Allah ta’ala telah memerintahkan kepada kita untuk berbakti kepada kedua orang tua. Allah berfirman mengenai wajibnya berbakti kepada keduanya (yang artinya):
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Rabb-ku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku sewaktu kecil.” [QS.al Isra: 23-34]
Silahkan baca juga surah an Nisa’ ayat 36, Lukman ayat 14-15, al Ankabut ayat 8, al Ahqaf ayat 15-20 dan al Baqaroh ayat 215.
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah ta’ala mengharamkan atas kalian durhaka kepada ibu.” [Muttafaq Alaihi]
Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
“Tidak akan masuk surga anak yang durhaka (kepada orang tuanya).” [as Sisilah ash Shahihah no.675] [1]
Gambaran Birrul Walidain Kaum Salaf
Di bawah ini kami suguhkan beberapa gambaran para ulama salaf terdahulu dalam berbakti kepada kedua orang tua mereka.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
Dari Abu Murrah Maula Ummu Hani’ binti Abu Thalib, bahwasanya ia pernah bersama Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menuju kampungnya di al ‘Aqiq. Apabila masuk halaman rumahnya ia berteriak: “Alaikissalam wa rahmatullah wa barakatuhu wahai bundaku.”
Ibunya menjawab: “Wa’alaikissalam wa rahmatullahi wa barakatuhu.”
Abu Hurairah berkata: “Semoga Allah merahmatimu sebagaimana engkau telah mendidikku sewaktu kecil.”
Ibunya berkata: “Demikian pula engkau wahai ananda, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan meridhaimu sebagaimana engkau berbakti kepadaku setelah dewasa.” [HR.al Bukhari di al Adab al Mufrad, No.14, al Albani berkata: Hasan isnadnya]
Dan di antara bakti Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu kepada ibunya adalah antusias beliau agar ibunya dapat memeluk agama Islam, yang mana sebelumnya ibunya bergelimang dengan kesyirikan, dan doa beliau agar ibunya di cintai oleh kaum mukminin.
Ia bercerita: “Dahulu aku mengajak ibuku untuk masuk Islam ketika ia masih berbuat kesyirikan. Dan pada suatu hari aku mengajaknya, tapi ia berbicara tentang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan ucapan yang aku benci, maka itu aku mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sambil menangis,
Aku berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pernah mengajak ibuku untuk masuk Islam, namun ia enggan menerima ajakanku. Dan pada hari ini aku mengajaknya lagi, tapi dia malah berkata tentangmu dengan ucapan yang aku tidak sukai, maka itu doakanlah ibu Abu Hurairah agar mendapat hidayah.’
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Ya Allah, bukakanlah pintu hidayah bagi ibu Abu Hurairah.”
Lalu aku keluar dengan senang hati lantaran doa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Ketika datang aku langsung mendekati pintu rumahku yang masih tertutup, dan ibuku mendengar suara langkah kakiku, ia berkata: “Tetaplah disitu, wahai Abu Hurairah.” Dan aku mendengar kucuran air.
Ia melanjutkan: “Ternyata ia mandi, kemudian ia mengenakan baju kurung dan memakai jilbab, lalu membuka pintu. Ia berkata: “Wahai Abu Hurairah, aku bersaksi bahwa tiada illah yang hak kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.”
Ia berkata: “Aku pun langsung kembali menemui Rasulullah sambil menangis karena saking gembiranya. Aku berkata: “Ya Rasulullah, kabar gembira bagimu, sungguh Allah telah mengabulkan doamu dan Dia telah memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.”
Lalu beliau memuji dan menyanjung Allah dan berkata dengan perkataan yang baik. Aku berkata lagi: “Wahai Rasulullah, memohonlah kepada Allah untuk menjadikan aku dan ibuku dicintai oleh hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan mereka dicintai oleh kami.”
Maka beliau berdoa: “Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini –yakni Abu Hurairah- dan ibunya dicintai oleh hamba-hamba-Mu yang beriman dan jadikanlah mereka dicintai olehnya.”
Tidaklah diciptakan seorang mukmin yang mendengar tentang diriku meskipun ia tidak melihatku kecuali ia pasti mencintaiku. [HR.Ahmad, al Bukhari di al Adab Mufrad, no.34 dan Muslim no.2491]
Iyas bin Mu’awiyah rahimahullah
Tatkala ibunya meninggal dunia ia menangis. Seseorang bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis?”
Ia menjawab: “Sebelumnya aku mempunyai dua pintu yang terbuka untuk menuju surga dan sekarang salah satunya telah tertutup.”
Abu Hanifah rahimahullah
Bahwasanya ibunda Abu Hanifah bersumpah dengan suatu sumpah lalu ia melanggarnya. Maka itu ia meminta fawa kepada Abu Hanifah dan beliau pun berfatwa untuknya.
Ibunya berkata: “Aku tidak ridha kecuali dengan ucapan Zur’ah al Qash.”
Kemudian Abu Hanifah membawa ibunya untuk menemui Zur’ah. Zur’ah berkata: “Apakah aku berfatwa untukmu sementara itu engkau bersama ahli fikih kota Kufah (yakni Abu Hanifah)?!”
Abu Hanifah berkata kepadanya: “Berilah fatwa kepadanya demikian dan demikian.”
Lalu Zur’ah memberi fatwa kepada ibunya dan akhirnya ia ridha dengan fatwa itu.
Abu Yusuf, sahabat Abu Hanifah pernah berkata: “Aku pernah melihat Abu Hanifah membawa ibunya di atas keledai menuju majlis Umar bin Dzar sebab ia disuruh ibunya untuk bertanya sesuatu kepadanya.”
Manshur bin al Mu’tamar rahimahullah
Muhammad bin Bisyr as Sulami rahimahullah pernah berkata: “Tidak ada seorang pun di kota Kufah yang lebih berbakti daripada manshur bin al Mu’tamar dan Abu Hanifah, dahulu Manshur biasa membelai rambut ibunya dan mengepangnya.”
Ibnu Asakir rahimahullah
Imam Ibnu Asakir pernah ditanya perihal keterlambatannya ketika datang ke kota Asfahan, beliau menjawab: “Ibuku tidak mengizinkanku.”
Haywah bin Syuraih rahimahullah
Pernah pada suatu hari beliau duduk di halaqoh ta’lim untuk mengajar para hadirin, tatkala itu ibunya berkata: “Bangkit ya Haywah, beri makan ayam kita dengan gandum ini.”
Lalu beliau berdiri dan meninggalkan ta’lim tsb.
Imam adz Dzahabi rahimahullah
Beliau pernah bercerita tentang dirinya yang sedang belajar qiro’ah kepada gurunya Syaikh al Fadhili. Beliau berkata: “Ketika Syaikh al Fadhili wafat, sementara aku belum menyelesaikan qiro’ahku, maka akupun sangat sedih. Tapi kemudian ada yang mengabarkan bahwa ada Abu Muhammad al Makin al Asmar yang tinggal di Iskandariyah, dan bahwasanya riwayat beliau lebih tinggi daripada al Fadhili, maka itu adz Dzahabi berkata: “Aku lebih sedih dan menyesal lagi lantaran tidak bisa menemuinya, sebab ayahku tidak mengizinkanku untuk safar ke kota itu.”
Note :
Di ambil dari kitab Birr al Walidain Adab wa Ahkam, karya Khalid bin Jum’ah al Kharraz, dan kitab Ma’alim fi Thariq Thalab al-‘Ilmi karya Abdul Aziz bin Muhammad as Sadhan
[1] Diringkas dari buku Birrul Walidain (Berbakti Kepada Orang Tua) karya Ustadz Yazid Jawwas, cetakan Darul Qalam.
Sumber :
Disalin ulang dari Majalah Adz Dzakhiirah Al Islmiyyah Vol.7 No.10 Edisi 52 – 1430/2009 Hal.41-44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar